Director & Editor : Bambang "Ipoenk" KM.
DOP : Yopi Kurniawan
Production Manager : Andic Cahyo
Lighting : Deki Yudhanto, Rio Autis, Robert Tictoc
Art Director :Vicencia Pinyo Vicky
Waredrobe & Make Up : Dhatu Rembulan, Tyas Chintya
Playback : Parvatae Pungkal
Helper : Geger, Jumbow, Moved
Senin, 8 Maret 2010 Lagu Gambar Gerak jalan-jalan ke Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Tema PRP (Pekan Raya Perfilma) 2010 adalah : " Melihat, Mendengar, Membaca Indonesia"
Giliran Lagu Gambar Gerak ditampilkan di Balai Sidang, Fakultas Hukum, UI dan menampilkan videorobber sebagai programmer-nya dan Ari Rusyadi sebagai video artist-nya...
Terimakasih temen-temen FH UI sudah mengundang kami...thx
Berkarya! Adalah bentuk jawaban dari omong besar kita, disinilah semua akan diuji oleh orang lain…apakah kita benar-benar bisa membuktikan kualitas kita atau sekedar omong besar yang kosong!
Sebenarnya kesulitannya bukan dalam hal menelurkan ide… Hampir semua komunitas film di Indonesia mempunyai problem yang sama, boleh dibilang problem klasik.
Komunitas Film berbasis kampus mungkin akan sedikit bermasalah dengan pendanaan, karena mereka didukung kampus, karena hampir seluruh komunitas film yangberbasis kampus masuk dalam struktur kampus ( misalnya masuk ke dalam Unit Kegiatan Mahasiswa), tapi kelemahannya adalah sedikit dari mereka yang konsisten di film (kecuali memang bukan sekolah film), proses regenerasi yang terlalu cepat dan sering dikarenakan sudah habisnya masa tempuh belajarnya. Sehingga di tataran ini masalah berjejaring akan dirasakan tiap tahunnya. Orang baru pastilah memulainya dengan cara yang baru juga.
Komunitas Film berbasis non kampus, jelas kesulitannya adalah pendanaan. Dan hal itu merembet ke hal-hal yang lebih serius yaitu masalah komitment. Anggota komunitas dengan basis non kampus ini kebanyakan satu per satu akan hilang karena tuntutan memenuhi kebutuhannya, karena jika sebuah komunitas mempunyai dana yang berlimpah ruah dan dapat menghidupi anggotanya saya pikir dan yakin para anggota-anggota ini tidak akan berpaling untuk mencari sumber pemenuhan kebutuhan dari lainnya. Tapi kebanyakan produk individunya akan lebih kreatif dalam berkarya karena banyaknya tekanan dan rintangan yang dialami.
Bagi saya yang lebih sulit adalah setelah berkarya, setelah film ini jadi!
Kesulitan Memproduksi sebuah film bagi kebanyakan komunitas adalah masalah pribadi komunitas itu sendiri. Tapi apakah setelah film ini jadi kita akan cari tempat,mengundang penonton dan menyelenggarakan acara pemutarannya sendiri?
“iya” itu kebanyakan jawaban yang akan muncul dari komunitas…launching film atau pemutaran film adalah hak eklusif bagi (hampir) semua komunitas film di Indonesia.
Nah kalau begitu apa gunanya komunitas lain yang berfungsi apresiasi? Ya setahu saya menyediakan media apresiasi untuk produk/ film hasil dari komunitas yang berkonsentrasi pada produksi.
Pertanyaan selanjutnya kenapa kita repot-repot menghabiskan energy untuk memproduksi dan sekaligus menyelenggarakan pemutaran/ launching film sendiri, jika sudah ada komunitas lain yang lebih berkonsentrasi untuk itu.
Dana? Tidak Eklusif, wajib hukumnya jika launching film dilakukan oleh komunitas produksinya? Atau ketidakpercayaan terhadap komunitas lain?
Bagi saya solusi yang terbaik adalah memperkuat jaringan. Mengetahui karakter dan konsentrasi masing-masing komunitas, sehingga timbul rasa kepercayaan dan saling percaya antar komunitas. Ketika rasa saling percaya ini muncul maka problem dana atau apapun untuk acara pemutaran/ launching film akan bisa diatasi bersama. Paling tidak akan bisa dibicarakan antara komunitas yang bersangkutan! Itu baru contoh kecil dari manfaat nyata dari berjejaring. Kenal, percaya dan timbul kenyamanan.
Mengenai hak eklusif dan wajib hukumnya jika launching film dilakukan oleh komunitas produksinya, sampai saat ini saya juga tidak tahu jawabannya, itu saya pikir lebih ke personal.
Lagi pula saat ini semakin sedikit saja ruang alternative yang representative untuk memutar sebuah film pendek! Di kota saya saja (Yogyakarta) boleh dibilang sangat sedikit, dan itupun tetap komersial. Bisa dibilang Tuhannya berbeda, yang satu men-Tuhankan keuangan yang maha esa, yang satunya men-Tuhankan Film! Mana bisa sama semangatnya? Dan ini dialami oleh banyak komunitas…mari kita tilik Solo dan Malang…Matakaca Solo dan Lensa Mata Malang merupakan komunitas yang berkonsentrasi terhadap apresiasi film. Kedua komunitas ini tidak memiliki alat atau piranti pemutaran film yang layak, bahkan tempat pun tidak. Mereka masih berkoalisi dengan pihak lain, gallery foto (Malang) dan sebuah pusat pendidikan (Solo) yang secara fungsinya memang tidak dikhususkan untuk menyelenggarakan pemutaran film.
Jadi masalah ini sudah terjadi lama sekali, dan bahayanya hal ini dianggap menjadi biasa dan pemakluman diantara komunitas. Pilihannya adalah dari pada nggak muter film? Bagaimana kalau kita rubah pilihannya menjadi bagaimana kalau kita tetep muter film dengan kualitas yang bagus, gedung yang layak, sound yang layak, dan gambar yang layak ditampilkan? Bukankah itu lebih baik?
Dalam hal ini saya berpikir, harusnya saya berharap (walupun tidak sepenuhnya)kepada pemerintah untuk menciptakan infrastruktur yang layak untuk keberlangsungan hidup komunitas film. Tapi kenapa tidak? Apakah daya tawar komunitas film yang tidak besar? Yang pasti komunitas adalah salah satu akar-nya dan film-film yang besar itu (diputar di bioskop) adalah buahnya, seharusnya pemerintah merawat akarnya dengan baik sehingga memperoleh buah yang baik juga!
Di lain sisi komunitas film saja bertentangan dengan UU yang notabene produk pemerintah. Dalam hal ini saja Pemerintah dan komunitas film belum bisa ketemu. Maaf saya terlalu berharap banyak untuk saat ini…
Jadi semacam lingkaran setan, di lain sisi dituntut untuk memberikan fasilitas menonton yang layak, di lain sisi masih kesulitan dana dan akses untuk mewujudkan itu. Dan untuk mendapatkan dana dan akses (funding) itu, komunitas dituntut untuk mempunyai landasan hukum yang kuat. Hal yang sekarang terjadi adalah komunitas-komunitas menjadi berbadan hukum CV., PT., atau Yayasan. Apakah ini masih bisa dikatakan komunitas? Seolah-olah menjadi dua sisi mata uang, komunitas dan berbadan hukum. Kok jadi saya berpikir pendek: kalau masalahnya dana berarti Film hanya milik orang kaya donk…
Kesulitan itu bisa sedikit mulai diatasi, ketika ada spesialisasi kegiatan di tiap komunitas. Yang berkonsentrasi di bidang apresiasi, mulailah mencari akses fasilitas pemutaran sebanyak-banyaknya, tempat yang representative, dan alat pemutaran yang selayak-layaknya. Dan yang berkonsentrasi di bidang produksi mulailah memproduksi film yang berkualitas baik dan hanya berproduksi.